Selasa, 22 April 2008

Oke, keputusan pemerintah yang ngeblok site-site besar ini emang mulai nyusahin, apalagi rapidshare sama youtube juga diblok. Jangan salah, banyak orang yang make website-website ini sebagai tempat usaha mereka, contoh aja multiply, sama myspace. Banyak orang berusaha dan membuat katalog dusahanya di blogspot, banyak juga band-band yang memakai myspace sebagai media advertisingnya.
*) Buat temen-temen Milis yang ada di tanah air, hari ini mungkin tidak bisa akses ke blog erwin arianto yang beralamatkan di hosting di Http://blogger.com atau blogspot.com secara langsung menyusul nasib YouTube dan beberapa site/ blog yang lain.

Tapi jangan kuatir untuk tetap mengikuti tetap membuka blog atau melihat di Youtube… disarankan untuk menggunakan proxy, salah satucontoh gunakan saja: http://www.hidemyass.com/ atau http://www.anonasurf.com/ trus masukkan alamat blog atau website di kolomnya misalnya alamat http://erwin-arianto.blogspot.com
selamat mencoba.
* ) Dan yang ingin chat pada Yahoo Masangger (YM) atau Google Talk (Gtalk) dapat menggunakan situs Alternatif
atau
dan masukan Yahoo Id/Gmail anda pada situs tersebut
*) Tetap Akses RapidShare

Untuk Akses dengan rapidshare. Coba buka HideMyAss, kita bisa make ini buat nge-bypass proxy dan ngebuka situs-situs tersebut. Untuk download dari RapidShare (RS) pake HideMyAss cuma nganterin kita sampai halaman pilih download gratis atau pake premium account, selebihnya ga bisa. Tadi akhirnya gw nyoba-nyoba nyari website penyedia proxy bypasser yang kebetulan “lepas” dari blokir pemerintah, dan gw menemukan YouHide. Dari YouHide, udah terbukti sama gw kalo bisa download dari RS.

Caranya? gampang, masuk ke YouHide, masukin alamat RSnya, pilih FREE (kalo gw ga punya premium account). Nanti akan masuk halaman tunggu, terus masukin CAPTCHA (gambar huruf-huruf yang disamarkan) ke formnya, klik download. Kemudian, yang terjadi di gw adalah: (backsound: jeng jeng jeng!) Keluar halaman dengan pesan error dari RS kalau ternyata filenya ga bisa didownload, tapi ga ada gambarnya, hanya ada tulisan plain. Jangan panik! liat di address bar browser lo! alamatnya udah ganti jadi http://xxx.rapidshare.com/blablabla… (xxx dan blablabla… itu bisa apa aja) yang artinya: RS bisa langsung lo akses (bukan dengan proxy bypasser YouHide yang depannya pasti http://www.youhide.com/blablabla…). Emang jadinya ini cuma plain text aja, ga ada gambarnya, tapi ga apa-apa kan yang penting adalah file yang mau didownload, bukan gambar-gambar bau dari RS. Terus Klik aja link di antara tulisan warna merah yang tulisannya “Please click here.” Setelah itu, Lo akan masuk lagi ke halaman pilih download gratis atau pake premium account. Terus pilih lagi FREE (lagi-lagi ga punya account premium). Terus tunggu sebentar, terus masukin CAPTCHA, terus download aja seperti biasa. Perhatikan alamat RS adalah alamat RS sebenarnya, tanpa bantuan YouHide lagi.

Selalalu ada jalan untuk kebaikan & Kreativitas, tapi jangan akses untuk yang negatif ya
http://erwin-belajarblog.blogspot.com/2008/04/bloggerblogspot-ym-gtalk-rapidshare-di.html

Jumat, 11 April 2008

Lupa Judulnya

oleh: muharikah
Jangan dikira pasangan yang sudah bercinta sekian lama,saat menikah akan terus mencintai pasangannya. Dan jangan dikira pasangan yang tidak melalui fasa percintaan akan sulit mencintai pasangannya setelah bernikah. Cinta itu ibarat pohon.Akarnya tumbuh ketika kita mulai berinteraksi dengan pasangan kita.Cinta pun akan bersemi ketika kita mulai menerima segala kelebihan dan kekurangan pasangan kita.Kita sirami dan pupuk ia dengan kasih sayang dan perhatian. Ia akan mekar dan berbuah ranum ketika kita berusaha memberi yang terbaik untuk pasangan kita. Namun ia tidak akan tumbuh begitu sahaja. Ia perlu dirawat dan dijaga dari penyakit dan


hama

yang menganggu.
Di antara kegembiraan, kesedihan dan kehibaan…’I will marry a stranger!’…Namun aku pasrah…
Jam 8.00 malam
‘Yang mana satu ek…?’‘Yang itukan?’..‘Iskh..bukan lah..itu kawan dia’..‘OOo..ye ke..hurm…. takde beza pun…Mana satu ni?’
‘Aku terima nikahnya Najdatul ‘Iffah binti Umar Faruq dgn mas kahwinnya 80 ringgit tunai….’.
‘‘Iffah dah jadi zaujah!’ Bisik Wafa’ sahabatnya seusai akad itu dan di saat aku menadah tangan berdoa. Tidak semena-mena beberapa titis air mata gugur keribaanku. Terselit juga hiba walaupun pada hakikatnya hati aku teramat gembira..Detik-detik ijab
kabul

itu. Sungguh ia merupakan sebuah momentum sederhana yang memiliki energi potensi dasyat untuk mengubah kehidupan dua anak manusia yang akan menjadi sepasang suami istri. Pernikahan adalah sebuah kerja besar yang menunggu kita.Kita tidak akan lagi merasa bahagia atau sedih sendiri. Malahan sudah tidak boleh melakukan banyak hal dengan menuruti keinginan sendiri. Kini telah hadir seseorang yang mencintai kita dan harus juga kita cintai, yang memperhatikan dan perlu kita perhatikan, tempat curahan hati, berkongsi rasa, canda, tangis, bahagia, susah dan marah. Dan seseorang itu adalah suami yang Allah berikan padaku….
Bila ada keindahan,Yang mewujud utuh..Dalam seluruh dimensi..Dan menyentuh utuh..Sepenuh rasa di jiwa,Itulah detik ijab qabul..Selamanya..Indahnya nyata..insyaAllah
. "Assalamualaikum!’ sapa satu suara.Aku masih tidak mampu untuk mendongak, melihat wajahnya itu. Aku berteleku dan terus menunduk. Ruang di antara para tetamu wanita di hadapanku di buka untuk lelaki tersebut mendekatiku. Aku bertambah gementar…Namun terus menghulurkan tanganku buatnya, lalu disarungkan sebentuk cincin emas ke jari manisku. Kerlipan cahaya dari berbelas kamera membuatku terus berpeluh-peluh. Dia lantas keluar tanpa berkata apa-apa. Mungkin dia segan dan malu, aku menebak. Mana tidaknya, puluhan akhawat memenuhi segenap ruang yang ada di bilik kecil itu.
‘Tak sempat lagi tengok muka dia’‘Tak sempat ke?Tak berani ke?Ke malu?’ Wafa’ masih tersengih memerli.
‘Semualah sekali. Eh, dia ada kat mana sekarang?’‘Makan kot…kat luarlah..pergilah tengok,’‘Tak mahulah. Segan sangat-sangat. Dahlah tak kenal. Dia balik lepas jamuan. Esok akan datang semula’.
…Aduhai…Akhawat yg ada geli hati agaknya melihat gelagat ‘Iffah. Mana tidaknya. Muka suami pun tak pernah dilihat Dah akad nikah pun masih belum melihat. Esoklah nampaknya rezekinya di waktu kenduri.
Di malam akadnya itu, dia masih belum bersama suaminya. Orang tua-tua kata tak elok selepas bernikah duduk sekali. Mesti tunggu majlis rasminya keesokan harinya.
Di saat itu dia masih membayangkan wajah suaminya yang hanya dilihatnya lewat gambar foto yang dikirimkan oleh ustaznya, perantara yang menjodohkan antara dia dan suaminya.
Di saat itu juga, memori lama terimbau kembali.
Dia masih teringat di saat dia ditanyakan adakah mahu dia berumah tangga dengan pemuda itu. Oleh kerana kepercayaan yang telah lama dibaja kepada manusia yang sudah lama mendidiknya, ’Iffah menyatakan persetujuannya. Bukan tergesa-gesa, tidak juga tanpa berfikir panjang. Malah, dia telah mempertimbangkannya sejak sekian lama.
Dia sangat mahukan pernikahannya hanyalah semata-mata kerana Allah. Dia mahu tindakannya itu disandarkan kerana Allah. Dia mahu berkarya untuk mengeratkan kasih dan produktif memaknai cinta tanpa mengharapkan balasan manusia, hattakan suaminya sendiri. Dia mahu cintanya itu bersumberkan kecintaan kepada Ilahi. Kecintaan yang benar-benar hidup dan menghidupkan…
‘Iffah sedar keputusannya menyerahkan segala urusan baitul muslimnya pada jemaah untuk mengatur dan memilih pasangan hidupnya membuktikan sedalam mana intima’ dan kepercayaannya pada jemaah dan manusia yang bertanggungjawab menjaganya.
Memasuki alam pernikahan memerlukan akar yg cukup kuat. Ibarat sebuah bangunan, semakin berat beban yang diterima, maka akan semakin kukuh struktur asas yang dibuat. Semakin teliti penelitian yang akan dibuat ke atas bangunan yang di buat. Bukan sahaja pada struktur asas ,tetapi kekuatan pendukungnya yang lain.
Dan semenjak hari itu,setiap detik menjelangnya merambat begitu lambat, di lautan hati yang penuh bunga,senyum bertebaran di wajah-wajah cerah, yang kian berseri.Seiring makin mendekatnya detik-detik penuh bersejarah itu, ’Iffah,seorang gadis biasa yang fitrahnya manusia, kadangkala tersadung juga. Hampir tergelincir ke lembah yang tidak diingininya. Dia mahu memelihara suci hubungan itu. Biarlah tiada ada noda. Biarlah bahagia itu bermula pada detik pernikahan itu sendiri.
Perbincangan mereka awalnya sangat terpelihara. Hanya sekadar atas urusan yang perlu dan di ‘cc’
kan

pada mereka yang selayaknya.
ustaz….Ukhti…Entah di mana ana harus mulakan…agak segan menulis kata2 walaupun tidak nampak rupa, malu pula untuk menuturkan bahasa di khalayak kalian berdua….Ana pun tidak pasti atas dasar mana ana menulis email ini, yang pastinya, aqidah ISLAM lah yang menghubungkan kita semua, tidak perlu la didetailkan lagi…Ustaz dan ukhti maklum dan jelas di dalam perkara ini insyaAllah.. ..Ana pasti ukhti iffah jelas di atas apa yang telah berlaku sebelum ini, resume telah diterima dan dibaca, boleh kata masing2 faham tidak perlu diterangkan mengapa dan siapa kerna semua itu sudah diserahkan kepada murabbi kita …ana hanyalah insan lemah yang menyerahkan segala yang berlaku kepada Allah s.w.t….semoga Allah berikan yang terbaik buat kita semua….. Tidak lain dari sini, ana hanyalah meminta keizinan menyatakan persoalan dengan tenang kepada ukhti iffah di atas perancangannya di dalam perkara ini, ana perlu lebih jelas tentang apa yang difikirkan oleh enti. …….Perbincangan sering berlaku lewat email dan ‘yahoo messenger’. Atas alas an untuk menguruskan hal-hal bersangkut paut dengan pernikahan. Namun setelah beberapa kali berhubung sudah muncul pula icon yg mampu menggetarkan hati-hati manusia yang menanti saat yang dirasakan manis itu.
Ada

juga email yang terlepas dan tidak di ‘cc’
kan

pada orang lain. Astaghfirullah! Pada mulanya berchatting sedaya upaya dielakkan. Namun akhirnya ‘Iffah pasrah. Tunduk pada hatinya yang seakan rindu melihat icon senyum itu menyala. Dan akhirnya syaitan itu menang jua. Walaupun tiada bicara yang melekakan. Namun cukuplah ucapan ‘doakan diriku pejuang sejati’ mampu menggetarkan dan mengusik hatinya itu. Entah mengapa saat pernikahannya itu dirasakan terlalu lama.
Thariq zayyad : ok ukht, ana undur dulu…‘iffah : ok, jaga diri ..Thariq zayyad : doakan diriku pejuang ISLAM sejati =)‘iffah..insyaALlah. . wassalam..Thariq :wslm wr wbt..
Mungkin berbaur semangat perjuangan, tetapi sebenarnya ia cukup palsu! Sayang sungguh sebagai pekerja islam yang kononnya membina bangunan Islam, tetapi dalam masa yang sama meruntuhkannya. Prinsip-prinsip pergaulan dilanggar, kata-kata walaupun sebentar mampu membuka ruang fitnah. Memang di mata manusia biasa apalah sangat perbuatan itu. Mereka akan berkahwin! Tapi jiwa orang mukmin yang sensitif, yang peka dengan maksiat-maksiat kecil, dia tahu perbuatannya itu tidak diredhai oleh Allah swt. Cepat-cepat dia beristighfar. Biarlah dia bersabar asalkan pernikahannya nanti adalah suci.
Alhamdulillah, Allah tidak membiarkan ia berlaku lama. Akhirnya ada yang dapat menghidu dan menegur. Aduh..malu sungguh dirinya pada Allah! Dirinya sering dianggap hebat dan cukup tsiqah tetapi kalah pada naluri rindunya. Walaupun sekadar icon =) namun dia merasakan itu satu noda besar untuknya!
Ruang dialog hati,dalam kesedaran cinta ilahi,sebagai sebenar-benar cinta.
Kita membangun sebuah pernikahan kerana cinta kita kepada Allah. Kita ingin selalu menyempurnakan cinta itu maka kecintaan kepada Allahlah adalah yang lebih utama perlu kita perhatikan demi kelangsungan pernikahan kita di dunia dan akhirat. Tentunya kita tidak ingin membawa pernikahan kita semakin jauh dariNya kerana peluang. Kita mudah terbawa arus lantaran selalu sebuk dan lalai dengan pernikahan itu. Mudah lari dari syariatnya.. Midah tertipu zahirnya dalam kebaikan. Kerana itu, kita perlu membangun sebuah komitmen denganNya dahulu sebelum menjalin komitmen dengan pasangan hidup kita…
Cinta bukan kerana keindahan yang tampak di mata..Tetapi kerana yang menyatukan hati dan jiwa…Akhirnya, segalanya ditinggalkan kerana Allah. Dia tidak sanggup lagi membiarkan fitnah berlaku ke atas hatinya. Komitmen dengan Allah swt dibutuhkan kerana dia bertekad membangunkan mahligai rumah tangga semata-mata mencari ridhaNya. Ingin membangunkan mahligai pernikahan dengan nuansa cintaNya dan cinta kepadaNya….kala cinta bertanya pada cinta..imanlah jawabnya..
Azan subuh yang berkumandang mengejutkan aku dari lamunan . Tidak disedari masa berlalu begitu cepat sekali. Kedengaran diluar suasana kelam kabut…bunyi kaca dan suara saudara mara hiruk pikuk di luar.
Baru aku teringat, hari itu adalah kenduri walimahku setelah akad semalam. Aku tersenyum sendirian. Di manakah suamiku? Bilakah dapat aku menatap wajahmu duhai kekasih?
Di sini teduh hadir kukuh,Di kelopak cerah segala bunga,di pucuk-pucuk hijau segala rasa..
Alhamdullillah, kenduri berjalan dengan lancar hari itu. Ramai sungguh teman-teman yang hadir mengucapkan tahniah dan menyerikan lagi suasana. Aku sempat mencuri pandang ke arah suamiku. Itupun setelah disuruh oleh sahabatku. Mana tidaknya seorang di hulu, seorang ke hilir. Penat sungguh sanak saudara menyuruh kami berjalan berdua-duaan. Sungguh aku tak mampu menahan getaran hatiku berada di samping seorang lelaki asing yang tak pernah kukenal mahupun kulihat! Namun hatiku pasrah dan menerima seadanya. Biarlah proses taaruf kami berjalan selepas ini. Dan insyaAllah kami akan mengenali keluarga besar masing-masing juga. Biarlah hari ini kami kelihatan seperti dua makhluk asing pun!
Mulai detik itu, kami melayari bahtera ini dengan keindahan dan kecintaan yang sebenar. Benarlah apabila syariat dipatuhi, manisnya pernikahan itu benar-benar dirasai. Di saat itu kisah cinta agung Khadijah r.a dan Muhammad saw kita selusuri. Betapa suburnya pohon cinta itu, akar-akarnya menghujam di hati, batangnya kukuh, rantingnya menjulang ke langit, daunnya rimbun, buahnya ranum,menaungi dan memberi kebahagiaan kepada sepasang jiwa.
Benarlah… nyata pernikahan juga memerlukan keperluan emosional yang tinggi. Hubungan dua insan yang saling memahami, empati, toleransi dan motivasi. Perlunya ada penyelarasan dan keselarian emosi. Tambahan lagi ketika awal pernikahan, banyak saat-saat yang cukup terduga, oleh itu sabar dan iman harus diutamakan. Penyelarasan ini tidak akan terjadi serta merta, seperti antena radio atau tv yang perlu diputar-putar untuk mendapat gelombang yang betul, maka penyelarasan antara dua jiwa ini juga memerlukan banyak percubaan. Ini akan terjadi sepanjang pernikahan kita hingga ke akhir hayat. Sabar dan syukur memudahkan kita memandang segala permasaalah kita dengan jiwa yang jernih…
Aku benar-benar bersyukur atas apa yang dianugerahkan padaku hari ini. Sungguh tidak ternilai cintaNya padaku….
‘ Ya Allah. dimana lagikah dapat ku temui cinta sejati..kecuali pada cintaMu..ke mana lagikah hati ini harus berlabuh..kecuali pada kasihMu..Jadikanlah hati yg lemah ini yaAllah..tertambat kukuh hanya padaMU..Aku mohon redha atas segenap keputusanMukesejukan setelah matiku..kenikmatan memandang wajahMu..dan kerinduan untuk berjumpa denganMu..Ampunilah diri ini yang tidak beharga Ya Allah ..Penuhilah kehinaannya dengan keindahan maghfirahMu’

Sepanjang beraga

PERASAANKU dibungkus kesunyian luar biasa. Dua jam termangu dalam kamar yang memiliki lebih dari seratus warna dan aroma cat minyak. Ada jendela terbuka ke arah sungai, tempat mengalir udara segar. Termasuk suara belalang dan kerisik bunga rumput. Hanya pada bidang itu, aku tak bisa melukis apa pun. Di seberangnya terdapat langit, yang mudah berubah rona. Hijau daun, merah senja, atau sesekali lintasan burung. Tapi sejak pameran terakhir, jendela itu belum menyumbangkan kegairahan.

Apakah harus menyesal, ketika mendapatkanmu di ruang pameran? Mula-mula yang kulihat adalah punggungmu. Engkau memandang lukisan yang mungkin menyemburkan sejumlah episode masa lalu, tentang hubungan kita yang lebih banyak melalui surat. Separuh dari kenangan itu masih tersimpan, untuk sewaktu-waktu kubaca ulang. Sebagian yang lain menjadi lukisan dalam berbagai ukuran.

"Aku senang kamu sempat datang,"

Kamu menoleh dan memandang dengan rasa bersalah. Seakan-akan perlu undangan resmi, dan ditegur karena berada di tempat yang ? barangkali ? mustahil.

Galeri Soemardja memang kecil. Dalam sekejap bisa kulihat semua yang hadir hanya dengan memutar kepala. Mereka bukan orang asing. Beberapa dosen, mahasiswa senirupa, dan kawan-kawan yang selama ini demikian dekat. Sehingga tentu segera kukenali dirimu, bahkan hanya dengan hembusan parfummu. Sesuatu yang tak berubah sejak bertemu muka, sekitar lima atau enam tahun lalu.

"Kau memang tidak mengundangku," katamu, tidak tampak kaget. Kita bergenggaman tangan. Berjuta bingkai diorama berputar. Gambar yang meloncat-loncat. Sejak Braga Permai, Concurrent Jewelery, Kafe Datumuseng, Pantai Losari, Somba Opu, sampai Benteng Fort Rotterdam?

"Padahal, ini hampir semua tentang kamu."

Engkau menghela nafas panjang. "Aku tahu. Tapi mungkin ini bukan waktu yang tepat buatku." Kamu seperti ingin menghindar. Mengkhawatirkan sesuatu. Aku pun merasa tak bisa berbuat banyak, meski segera kutangkap tanganmu.

"Kita harus merayakan pertemuan?"

"Maaf, Mas, ini pasti di luar perkiraanmu. Mungkin lebih baik?"

"Please," kuperkeras genggamanku. "Kau bahkan belum memberitahu kapan datang dan di mana menginap."

Beberapa kawan muncul silih-berganti, menjabat tangan, mengucapkan selamat. Ini memang hari pertama pameran "Sepanjang Braga" dibuka. Tema yang seharusnya kukonfirmasi kepadamu. Tapi aku bimbang. Hal-hal yang menyangkut perempuan lain bisa jadi aneh dan mengerikan untuk dibahas. Apalagi tentang pelukis dan pecinta lukisan. Aku hampir tak membicarakan dengan isteriku. Padahal perasaanku santai saja jika sesekali kugambar model perempuan telanjang di studio.

"Sepanjang Braga," kau bergumam begitu aku terbebas dari kawan-kawan. Kilatan cahaya blitz kadang-kadang melampaui kepala kita. Seperti benderang lampu petir yang mengerjap di langit petang, saat kita diguyur gerimis di Jalan Braga. Saat itu, di antara kita belum ada siapa pun. Andaikata dada kita transparan, mungkin terlihat kembang api jingga setiap kita bicara. Karena yang terlompat dari mulut, meski terdengar seperti perdebatan, adalah upaya saling menggosok batu api. Sejak itu, setelah komunikasi terdiri atas berlembar-lembar surat, tumbuh perasaan saling menyayangi.

"Aku akan datang ke tempatmu, apakah nanti malam punya waktu?"

Kau tersenyum. Seperti menyindir. Tapi juga menyiratkan kebijaksanaan. "Seharusnya aku yang tanya, apakah kau punya waktu? Kau tahu, aku belum terikat siapa pun. Setidaknya sampai hari ini. Tapi, it?s okay, kau bisa telepon dulu. Aku menginap dekat Dago Tea House." Kau memberiku sebuah kartu nama guest house.

Sejak kutulis tentang Chiara, dulu, muncul nuansa lain dalam hubungan kita. Aku merasa: ada seseorang yang juga dekat denganmu. Meskipun tidak kauceritakan, kecuali ketika putus menjelang tunangan, justru setelah aku menikah.

"Aku jatuh hati sejak pandangan pertama," demikian suratku. "Ia seorang pembaca puisi, pasti memiliki apresiasi yang kuat tentang seni. Beberapa kali kukirimi sketsa, tapi tidak tahu apakah dipasang di kamarnya?"

Waktu ngoceh seperti itu, aku lupa, bagaimana perasaanmu? Seolah-olah engkau ibuku. Terlebih ketika nada suratmu biasa-biasa saja. Bahkan mendorong untuk meraih setiap harapan. "Memang sudah waktunya, Mas. Kudoakan semoga berhasil. Aku yakin, dia pasti cantik." Cantik memang relatif, seperti halnya lukisan.

Kabarku masih terkirim dengan rentang makin panjang. Lantas lama tidak bertukar kabar. Saat itulah aku kembali suka berjalan-jalan di sepanjang Braga. Tidak dengan Chiara. Seringkali justru bersama Acep Zamzam Noor, Diyanto, atau Tia Lesmana dan Soni Farid Maulana. Di tempat itu, juga di tempat lain, aku ingat kau. Ingat pertemuan yang hanya beberapa hari tapi bagai berbulan-bulan. Ditemani gerimis, jarum air yang menabur rambut kita, dan cahaya senja yang memantul dari dinding pertokoan Braga. Kita pernah berteduh di Majestic, menertawakan pasangan yang mencuri kesempatan dalam gelap bioskop. Rasanya percakapan kita sangat berbeda. Aku suka marah oleh kritikanmu. Belakangan kusadari, semua itu membentuk kekuatan goresan, karakter yang kini dibicarakan banyak orang.

"Bagaimana kabar Baby?" Pertanyaanmu membuyarkan lamunan.

"Oh, ia mulai sekolah. Kelas bermain."

"Aku masih menyimpan fotonya waktu bayi. Hampir tiga tahun lalu. Betapa bahagianya Chiara. Apakah ia masih sibuk dengan jasa-boganya?"

"Ya, apalagi ini musim menikah. Sementara kau masih sendiri, sejak berpisah dengan pemuda dari bursa effek." Aku mengambil dua cangkir teh. Kita minum sambil berdiri.

"Bukan keinginanku. Tapi mudah-mudahan itu yang terakhir."

Terkadang aku kagum padamu, karena tidak serapuh dugaanku. Waktu kau ceritakan patah hati yang pertama, tersirat ungkapan syukur. Sambil menikmati pisang epek di pantai Losari, kita berbagi kisah. Ada semacam keajaiban. Setelah lama saling bersurat, kegiatan budaya mempertemukan kita di Bandung. Catatanmu yang melukai perasaan di buku tamu pameran lukisan, telah memaksaku terbang ke Ujungpandang. Begitu tiba di teras rumahmu, pertanyaan pertama yang muncul adalah: "Bagaimana kabar Braga?"

"Aku sedang menggarap semacam proyek tentang Braga. Rasanya tak akan sempurna tanpa diskusi denganmu."

Kini, seratus lukisan telah selesai. Seperti yang kujanjikan pada diri sendiri. Hanya Chiara dan Baby yang jadi saksi prosesnya. Atau satu-dua kawan dekat. Aku memang mengerjakannya setengah diam-diam.

"Oke, aku pulang dulu," katamu, sambil mengambil selembar katalog dan memasukkan ke dalam saku blazer.

"Tidak mengikuti diskusi? Pak Pirous dan Bang Hardi yang bicara."

Kamu menggeleng. "Aku banyak urusan," tersenyum dan pergi menjauh. "Jangan lupa, telepon dulu."

Kulambaikan tangan, sebelum bergabung dengan peserta diskusi di ruang Bulu Domba. Seorang moderator mendekat, mengkonfirmasi biodata. Sepuluh menit kemudian acara berlangsung, dan baru berakhir pukul dua. Semalam aku hanya tidur sekitar tiga jam. Akumulasi keletihan itu sangat terasa begitu sampai di rumah.

Rupanya aku menyimpang dari perjanjian. Selepas petang kukatakan pada Chiara: seorang wartawan asing ingin berjumpa di Dago Tea House. Aku langsung melaju ke penginapanmu. Di ruang tamu yang temaram, kau main piano sendirian. Baru kali ini, sepanjang kita kenal, kulihat kau mengenakan baju tidur warna pastel.

"Kenapa tidak telepon dulu, Mas?" tanganmu terangkat dari tuts piano.

"Apa bedanya? Toh kau ada di tempat." Aku membanting diri di sofa.

"Kita mau bicara di sini atau di kamar?"

"Apa bedanya? Yang penting isi pembicaraannya, bukan tempatnya."

Tapi sebuah dorongan bawah sadar membawa langkahku ke dalam kamar. Kau hendak ganti baju yang pantas untuk menerima tamu. Namun peristiwa yang berlangsung kemudian berbeda. Sangat berbeda. Sungguh di luar seluruh pikiran-pikiran kita selama ini. Ke mana jalinan persahabatan itu?

Mungkin ini percintaan paling panas. Kita bagai berenang di antara ombak biru, di bawah matahari tropik, dengan angin pesisir yang berarak-arak. Pulau yang ditempuh masih jauh di ujung cakrawala. Timbul-terbenam, diayun buih samudera. Kita memburu dan mengejarnya, ingin meraih. Namun perjalanan bagai tak hendak selesai sampai nyaris tenggelam, dan tiba-tiba kudengar lengking panjang. Kutangkap tanganmu, matamu terpejam dengan kelopak bibir terbuka, tersenyum. Wajahku terasa hangat dan basah kuyup?

Tangis itu terdengar lagi. Tapi bukan dari mulutmu. Suara itu dekat dengan telinga, membuatku terjaga. Aku terperanjat menangkap warna-warni lukisan.

Ya Tuhan, ini mimpi! Tapi wajahku benar-benar basah dan hangat. Dalam keremangan senja, celah jendela memberikan sedikit cahaya. Kulihat Baby terisak dengan mata masih terpejam.

Anakku ngompol! Kucoba mengingat asal-usul kejadian ini. Ya. Keletihan membuat aku tergeletak di atas karpet ? satu-satunya tempat dalam studio yang bebas tetesan cat. Sebelum lelap, Baby memanggilku, mendekat dan berbaring dekat kepala.

Astaga, jam berapa ini? Aku punya janji denganmu! Apa yang baru kita lakukan dalam mimpi? Kugunakan T-shirt untuk mengusap pipis Baby di wajah, sebelum kubangunkan dia. "Kenapa ngompol lagi, sayang? Ayo kita mandi."

Kulihat Chiara sedang menerima telepon di ruang tengah. Ia memberi isyarat dengan tangannya. Aku mendekat. "Ada seorang kolektor Filipina hendak memborong semua lukisanmu. Mau langsung bicara dengannya?"

Kesadaranku belum pulih benar. Tapi ini mengejutkan. Sekaligus terdengar mustahil, seperti mimpi yang baru saja berakhir. "Aku akan menelepon kembali, minta nomornya. Lihat! Baby ngompol."

Chiara tertawa sebelum memasang kembali gagang telepon ke telinganya. Sepanjang siraman air shower, berdua Baby, aku belajar percaya kabar aneh itu. Seorang kolektor memborong seluruh koleksi "Sepanjang Braga"! Apa katamu nanti? Chiara seharusnya tidak hanya berunding denganku, tapi juga denganmu. Tapi, apa itu mungkin?

***

MALAM telah larut ketika akhirnya aku menemukan suaramu di telepon penginapan. "Ke mana saja?" Aku kesal. Tapi bukan hakku untuk memintamu tetap berada di tempat yang aku mau.

"Sorry, Mas. Seseorang mendadak mengajak makan malam. Aku memang tidak menelepon, karena satu dan lain hal. Aku ingin bahagia, seperti juga kau, Mas. Dan kebahagiaan kita tidak perlu mengganggu kebahagiaan orang lain."

"Aku mencarimu. Pertama, karena janji tadi siang. Tapi ada yang lebih penting. Seluruh lukisan "Sepanjang Braga" dibeli seorang kolektor. Aku? aku bahkan belum pernah mengenal orang itu."

"Lalu?"

"Aku harus minta ijinmu. Sebelum kupikir bahwa ini sesuatu yang hampir tidak masuk akal. Koleksi itu seharusnya tidak pernah dijual."

"Itu tidak rasional, Mas. Apa kata Chiara nanti?" Benar katamu. Jika seratus lukisan itu hanya untuk disimpan, akan menimbulkan pertanyaan dan layak diusut. Berapa puluh juta rupiah investasi dan waktu yang tertimbun di dalamnya?

"Ini memang pilihan yang sulit." Aku mengeluh.

"Tapi, benarkah kau hendak meminta ijinku?" tanyamu untuk meyakinkan.

"Tentu. Aku tak ingin melakukan kesalahan dua kali."

"Jangan merasa bersalah, karena memang tidak bersalah."

"Setelah seratus lukisan itu terjual, aku mungkin tak punya lagi kenang-kenangan itu. Cobalah mengerti perasaanku."

"Aku sangat mengerti perasaanmu, Mas. Pertanyanku, benarkah kau meminta ijinku?" tanyamu manja.

"Ya."

"Aku seratus persen mengijinkan, Mas. Aku tak keberatan kau menjual semuanya. Tapi sebaiknya kau bertemu dengan pembelinya, sebelum ia membawanya pergi. Pameran masih berlangsung tujuh hari lagi, bukan?"

Aku terdiam. Bukan oleh suara gerimis di luar. Aku merasa pilu mendadak. Sangat tidak menduga, engkau merelakan nostalgi tentang kita dibawa orang. Kita tak punya apa-apa lagi. Mungkin aku menyesal telah memasang price list dalam katalog.

"Mas, boleh aku tidur? Besok aku harus pulang ke Ujungpandang."

"Secepat itu?" Aku terkesiap. Putus asa. "Aku jadi ragu. Kenapa kau?" Kupikir aku lebih cengeng dibanding perempuan mana pun di dunia. Kau, pemilik separuh kenangan, sudah tidak mempersoalkan hal-hal yang sentimentil. Mengapa aku bertahan pada ilusi yang hanya mirip guratan nama di daun kaktus? Atau pada poci keramik yang kelak retak seperti kata Goenawan Mohamad?

"Aku minta maaf," katamu berbisik.

"Ya," tak ada lagi yang harus dibicarakan. Kututup telepon dengan kecewa.

Kuhampiri Chiara yang meringkuk di ranjang. Kuletakkan badanku pada sprei yang masih rapi, telentang, memandang langit-langit. Tubuh di sampingku berbalik. Dalam ketidaksadaran ia mendesakkan wajahnya ke leherku. Dan kupeluk sebuah kenyataan.

Barangkali tak pernah kupejamkan mata sampai pagi datang. Aku menjadi sedikit pendiam, namun tidak menarik perhatian Chiara. Sehabis sarapan, telepon berdering, dan Chiara mengatakan tentang kolektor Filipina itu. Aku hanya memberi anggukan, tanda setuju.

Selesai bicara, wajah Chiara berseri-seri. Ia menciumku dengan hangat. "Hampir setengah milyar! Empat ratus delapan puluh enam juta, setelah dipotong PPh." Ia tidak merasakan, alangkah hancur hatiku. Tapi buat apa? Aku tidak ingin merana sendirian. "Ia bilang, nanti siang ditransfer. Lukisan akan dikemas hari Minggu, setelah penutupan. Baby?! Baby?! Ayo beri selamat kepada Ayah!"

Gadis kecil itu meloncat ke pangkuan. Kupeluk dia dan seolah-olah aku mendapatkan pengganti dari semua yang hilang.

Chiara pamitan ke kantor, Baby berangkat ke Tadika Puri. Aku terdiam di kursi, mendengarkan rekaman Tony Prabowo. Membayangkan gelas-gelas yang ditabuhnya pecah berkeping-keping. Menggambarkan perasaanku. Aku terbius. Sampai kudengar teleponmu dari bandara.

"Sepuluh menit lagi aku berangkat. Sorry, aku memang tak ingin diantar. Aku tinggalkan kartupos dan undangan di receptionist galeri. Apa rencanamu hari ini, Mas?"

Nada suaramu menunjukkan kelegaan, bahkan kegembiraan. Sungguh ganjil, atau menyakitkan? Membuatku meradang: "Apa yang kautulis dalam kartupos itu? Banyak orang bisa membacanya!"

"Yang paling kaucemaskan pasti jika Chiara melihatnya, bukan?" Kudengar kau tertawa, di antara gemuruh suara pesawat yang landing. Aku merasa baru mengenalmu. "Aku cuma memberitahu bahwa "Sepanjang Braga" sudah jadi milikku. Seluruhnya, Mas! Feliciano membelinya untukku, sebagai maskawin, atau kami tidak menikah sama sekali. Kaget? Maaf, aku tak mungkin bilang dari awal, karena aku sulit melupakanmu. Aku hanya ingin semuanya beres, sejak kubaca berita budaya di koran. Pameran itu pasti untukku, tanpa kau memberitahu?"

"Ya, Tuhan?" Aku terperangah.

"Benar, itu memang kehendak Tuhan. Itulah sebabnya aku harus segera pulang ke Ujungpandang, untuk menyiapkan pesta sederhana. Aku tak boleh ingkar dan menyakiti hati Feliciano. Semua syarat telah dia penuhi."

Bagai ada segelas embun yang melintas ke tenggorokan. Mungkin aku benar-benar kehilangan kamu. Tapi tidak kehilangan "Sepanjang Braga".

"Kau sudah mempersiapkan sejak lama, bukan? Undangan pernikahan tak mungkin dibuat secepat itu."

"Benar. Maksudku, undangan itu hanya berupa print-out yang kubuat di sekretariat FSRD. Kalau hal itu membuatmu tidak datang, aku mesti bilang apa? Oke, tampaknya aku harus masuk pesawat. Salam untuk Chiara dan Baby."

Seminggu setelah teleponmu itu, kupasang kanvas baru. Menyiapkan semua botol cat, kuas, dan minyak pengencer. Tapi, telah dua jam aku di sini: pada sebuah kamar yang memiliki lebih dari seratus warna dan aroma cat. Dalam keadaan ngungun. Perasaanku dibungkus kesunyian luar biasa.



 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting