Selasa, 13 November 2007

Masa Depan Keluarga Kita


"Keluarga telah mati, kecuali pada tahun pertama atau tahun kedua selama
mengasuh anak." (William wolf - psikolog)

Para kritikus sosial sedang punya kesempatan baik berspekulasi tentang masa
depan keluarga. "Keluarga akan mendekati titik kepunahan total," kata
Ferdinand Lunberg, pengarang The Coming World Transformation.

Dulu, ikatan keluarga amat mesra. Kekerabatan pun berlangsung sepanjang
usia. Ayah, ibu, kakek dan nenek tiap hari kumpul bersama. Hidup damai,
tenteram, tak tergesa-gesa. Itulah ciri peradaban masyarakat pertanian
setiap negara.

Lalu masuk era industrialisasi, berubahlah suasana. Hubungan manusia dengan
tempat pemukiman terancam sirna. Manusia pun mulai menjalani kehidupan serba
keras, lapar, berbahaya, dan mengelana. Tapi kendati demikian, fungsi rumah
(meski hanya sebuah gubuk) tetaplah jadi tempat berlindung utama.

Kepustakaan penuh dengan petunjuk yang baik tentang pentingnya rumah. "Seek
home for rest, for home is best." Carilah rumah untuk istirahat, sebab rumah
itu paling ramah. Begitu nasehat Thomas Tussers dalam Instructions to
housewifery, sebuah buku petunjuk abad ke-16. Yang lain lagi, "A man's home
is his castle ." (rumah seseorang adalah istananya). "Home, sweet home ."
(rumahku, rumah yang manis). Begitu mesra hubungan manusia dengan rumahnya.

Lalu datang industrialisasi modern. Ia kian menuntut adanya massa pekerja
yang siap dan mampu meninggalkan tanahnya untuk mencari pekerjaan dan pindah
tempat berkali-kali. Ini berbeda sekali dengan masyarakat tani yang
cenderung menetap menetap untuk jangka waktu yang lama. Revolusi industri
mulai merenggangkan kasih mesra manusia dengan tempat tinggalnya.

Akibatnya, keluarga besar (extended family) termasuk di dalamnya ayah, ibu,
anak, paman, bibi, kakek dan nenek, sedikit demi sedikit terpaksa
"merampingkan tubuhnya". Timbullah apa yang dinamakan "keluarga inti"
(nuclear family). Itulah dia, suatu unit keluarga yang ringkas, portable
(mudah dibawa) kemana-mana. Ia hanya terdiri dari suami, istri dan sejumlah
kecil anak mereka. Keluarga ini, yang jauh lebih mobile sifatnya dari
keluarga besar tradisional, jadi model standar di semua negara. Termasuk di
Indonesia.

Dampaknya ternyata juga bukan hanya memperenggang hubungan manusia dengan
rumahnya, tetapi juga memperpendek tali kasih manusia dengan sesama manusia
lainnya. Termasuk dengan sesama anggota keluarga. Mulailah banyak yang
merasakan hidup bagai dalam losmen belaka. Tamu-tamunya jarang berjumpa,
seolah-olah tidak saling mengenal. Tak ada waktu untuk membicarakan
masalah-masalah bersama. Tak ada pula aktivitas yang ditujukan untuk
kepentingan bersama.

Kegiatan mondar-mandir, bermusafir dan pindah tempat tinggal, akhirnya jadi
kebiasaan hidup. Makin besar mobilitas, makin banyak perjumpaan tatap muka
yang singkat. Kontak antar manusia jadi sepintas, yang masing-masing
merupakan hubungan tertentu yang fragmentaris dan dalam waktu yang amat
terbatas. Kebiasaan ini pun terbawa dalam kontak keluarga. Tentu ya .
sentuhan kasih, akhirnya tinggal menunggu senja tiba.

Inang-Inang Pengasuh Anak

Di waktu lampau, paman, bibi, nenek dan kakek mempunyai pengaruh besar
terhadap perkembangan jiwa seorang anak. Mereka turut membina, melatih dan
mengasuh si anak, terkadang bahkan sampai tahap dewasa.

Lihatlah zaman sekarang. Keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak
menjadi lebih penting kedudukannya. Paman, bibi, kakek dan nenek sudah tak
lagi memberikan perlindungan berarti seperti dulu. Dengan demikian keluarga
inti lah yang menjadi sumber utama pembentukan watak, akhlak, kebiasaan dan
perilaku anak. Ayah dan ibu, dua-duanya masih mampu dan mau mendidik
anak-anaknya.

Akan tetapi, ketika laju perkembangan kian deras, pergeseran mulai membuka
suasana baru. Kesibukan pun mulai memaksa ayah menjalani hidup lebih banyak
di luar rumah. Pergi pagi, pulang malam. Kadang tak sempat bercengkerama
dengan istri dan anak-anaknya. Masih untung, ada sang ibu, yang siap
mengasuh dan mendidik anak-anaknya.

Lalu lahirlah gerakan emansipasi. Para ibu mulai merasa "dipingit" kalau
terlalu banyak di rumah. Tuntutan itu bergema dimana-mana, sampai ke pelosok
desa. Tak dapat dielakkan lagi, akhirnya ayah dan ibu, dua-duanya, keluar
dari rumah, sama-sama bekerja. Waktu interaksi antara ayah-ibu dengan
anak-anaknya makin luntur dalam rona kelabu senja.

Urusan anak, sejak itu, mulai diserahkan sepenuhnya kepada orang lain.
Mulailah masuk anggota keluarga baru, inang pengasuh (merangkap pembantu
atau tidak) dalam struktur keluarga. Inang pengasuh itu, saat ini telah
menggantikan fungsi ibu.

Selain itu fungsi orang tua lainnya yang juga diserahkan kepada orang lain
(atau pihak luar) adalah fungsi sebagai pendidik anggota keluarga. Fungsi
ini kini telah begitu mapan. Telah banyak keluarga yang menyerahkan dan
mempercayakan pembinaan anaknya kepada lembaga pendidikan, sepenuhnya,
sehingga perhatian dan kontrol ayah-ibu luput begitu saja.

Orang Tua Profesional

Apakah yang bakal terjadi di masa depan? Kalau kecenderungan ini masih tetap
demikian, bisa diperkirakan mobilitas hidup manusia akan semakin tinggi.
Tuntutan "survive" dalam kancah kehidupan secara layak menimbulkan alam
persaingan semakin kejam. Karena itu, bisa jadi pada sebagian keluarga,
proses perampingan keluarga itu akan terus berlanjut, yaitu keluarga tanpa
anak. Keluarga hanya tinggal komponennya yang paling elementer, seorang pria
dan seorang wanita.

Dua orang itu, mungkin dengan karir yang sepadan, akan terbukti lebih
efisien untuk mengarungi pendidikan dan lika liku sosial, melalui perubahan
pekerjaan dan relokasi geografis global, dibanding keluarga tradisional yang
sering direpoti anak.

Pada masa seperti itu, ada kemungkinan lahirlah jenis profesi baru. Profesi
yang khusus mengasuh dan mendidik anak secara lebih baik, yaitu "keluarga
profesional".

Kalau itu benar-benar terjadi, muncullah dua jenis orang tua: orang tua
biologis dan orang tua profesional. Orang tua biologis adalah yang
melahirkan anak, sedangkan orang tua profesional adalah yang mengasuh,
membesarkan dan mendidik anak.

Atau pada sebagian keluarga ada pula yang memilih melakukan suatu kompromi
berupa penundaan waktu beranak. Gejala ini terlihat dari banyaknya pria atau
wanita yang terombang-ambing dalam konflik antara komitmen pada karir atau
komitmen pada anak. Maka mulai banyak pasangan akan menghindari persoalan
itu dengan menunda seluruh kewajiban mengasuh anak, bisa jadi sampai sesudah
pensiun.

Andaikata diberi kesempatan, banyak orang tua yang makin senang hati
menyerahkan tanggung jawab keibu-bapakan mereka kepada orang lain, bukan
karena tidak memiliki rasa tanggungjawab atau kasih sayang. Mereka pusing,
bingung, terpojok. Mereka mulai insaf bahwa mereka sudah tak mampu
menunaikan kewajiban. Dalam keadaan ekonomi berkecukupan dan dengan
tersedianya "jasa orang tua profesional" yang (berijazah mungkin) dan telah
berketrampilan khusus (tentang parenting), banyak orang tua biologis tidak
hanya akan senang menyerahkan anaknya kepada mereka, bahkan memang memandang
langkah itu sebagai suatu tindakan kasih sayang kepada masa depan anaknya.

Lalu jangan heran, kalau suatu hari nanti, kita akan baca sebuah iklan,
"Mengapa kewajiban sebagai orang tua membelenggu anda? Percayakanlah kami
mengasuh anak Anda menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan berhasil.
Keluarga profesional 'Happy Family' terdiri dari seorang ayah usia 39 tahun,
ibu 36 tahun, seorang nenek 57 tahun. Paman dan bibi masing-masing 30 tahun
dan tinggal bersama. Unit empat-anak masih dapat menerima seorang anak lagi
usia 6 - 8 tahun. Makanan teratur, melebihi standar pemerintah. Semua orang
dewasa sudah berijazah parenting berlisensi. Orang tua biologis boleh
mengunjungi anak secara berkala. Ada kesempatan pula untuk saling kontak via
telpon. Anak boleh berlibur dengan orang tua biologis. Kontrak minimal 5
tahun. Rincian lebih lanjut, silakan hubungi telpon 1234567890."

Bagaimana, Anda jadi tertarik baca iklan seperti itu?


Sumber: Pustaka Nilna


0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting