Kamis, 20 September 2007

Kenapa harus menulis?


Kenapa harus menulis?

Scripta manent, verba volant. Kurang lebih berarti: yang tertulis akan abadi, yang terucap akan lenyap bersama hembusan angin. Itulah ungkapan seorang filosof yang namanya telah hilang dari memori otak saya. Bukan karena sengaja saya melupakannya, tetapi mungkin saja otak saya lagi hang (Maklum pentium jaman onta). Setidaknya kalimat inilah yan memotivasi saya untuk menggerakan jari jemari saya di atas papan keyboard komputer, sekedar berceloteh tentang keresahan. Maka tidak heran seorang penulis buku best seller Berani Gagal, Billi PS Linn, mengatakan bahwa Ia tidak ingin mati begitu saja. Kemudian menjadi jasad organik setelah ditanamkan dalam tanah, tanpa mewariskan sesuatu. Dan warisan itu adalah karya tulis. Maka lahirlah buku dahsyat yang berjudul (sekali lagi) Berani Gagal, yang diterjemahkan lebih dari 30 bahasa.

Suatu waktu teman saya pernah mengatakan, juka kamu ingin hidup melampaui usiamu, maka menulislah. Kalimat tersebut seolah tak mau lepas dari ingatan saya. Saya berusaha ubtuk belajar menulis. Layaknya anak kecil yang baru belajar berjalan; jatuh dan jatuh, lalu bangun lagi.

Kenapa harus menulis? Buat apa menulis?. Mungkin pertanyaan-pertanyaan ini akan memburu kita tatkala sedang memulai menulis. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seolah menjadi pembenaran akan ketidak mampuan kita untuk menuangkan ide dan pikiran kita dalam bentuk tulisan. Ada beberapa hal yang mengharuskan kita kenapa harus menulis. Pertama, menulis adalah tradisi intelektual. Sebagai mahasiswa maka menulis adalah suatu keharusan. Menulis adalah cara yang ampuh untuk melatih kembali daya ingat kita. Alangkah sia-sianya kita yang setiap hari berkutat dengan berbagai macam teori, dari teori A sampai teori Z, kemudian tidak mampu menumpahkan kembali dalam bentuk tulisan. Ilmu itu ibarat binatang buruan, membaca adalah senjatanya dan menulis adalah pengikatnya, demikian kata para ulama.

Kedua, menulis itu membebaskan. Tak sdikit orang yang menumpahkan masalah kesehariannya dengan menuliskannya dalam diary pribadi mereka. Hal tersebut mereka lakukan untuk melampiaskan apa yang mereka rasakan. setelah itu mereka cukup tenang karena tlah menumpahkannya lewat tulisan. Tak jarang dari buku catatan harian mereka banyak diterbitkan oleh penerbit buku. Soe Hoek Gie misalnya, dengan bukunya yang diberi judul Catatan Harian Seorang Demonstran (CHSD). Buku ini menjadi literatur sejarah dan menjadi saksi atas kesuraman rejim orde lama. Pendiri Ikhwanul Muslimin Hasan Al banna, dengan buku yang diberi judul Memoar Hasan Al banna dan Risalah Pergerakan. Buku tersebut menjadi inspirasi bagi jamaah Ikhwanul Muslimin untuk tetap berkomitmen terhadap islam. Bung Karno dengan karya monumentalnya Di Bawah Bendera Revolusi

Ketiga, menulis merupakan alat perlawanan. Sejarah banyak mencatat mereka yang melakukan perlawanan dengan bersenjatakan pena. Yusuf Qardhawi misalnya, karena dilarang berceramah lewat mimbar, maka Ia pun mengalihkan ceramahnya lewat tulisan, maka lahirlah karya monumentalnya Al Halal Wa Haram Fi Al Islam (Halal dan haram dalam Islam). Lain lagi dengan Muhammad Quthub. Ia melahirkan karya monumentalnya yang berjudul Fii Dhilalil Qur'an (Di bawah Naungan Al-Qur'an) di balik jeruji besi (penjara). Demikian juga almarhum Pramudiya Ananta Tour (PAT), buku-bukunya lebih banyak lahir di balik jeruji besi. Pada masa orde baru, buku-bukunya diharamkan beredar di indonesia. Namun tak sedikit anak-anak muda dan aktivis mahasiswa yang secara sembunyi-sembunyi membaca bukunya. Tan Malaka dengan Madilog nya (Matrialisme, Dialetika dan Logika) juga lahir dibalik jeruji besi (penjara).

Keempat, Manfaat benefit dan Profit. Tidak dapat dipungkiri, menulis memberikan manfaat yang sangat besar bagi si penulis. Manfaat tersebut adalah manfaat benfit atau ketenaran. Sadar atau tidak sadar, suka atau tidak suka, seseorang yang tulisan-tulisannya dimuat di media cetak, baik secara langsung maupun tidak langsung membuat ia menjadi tenar atau tekenal. Di sisi lain manfaat profitpun juga diperoleh jika tulisan-tulisannya dimuat di media cetak. Atau penulis skenario yang menulis untuk sebuah cerita sinetron atau film. Dan masih banyak lagi manfaat lainnya.

Siapa yang menyangka buku-buku meka tesebut diterbitkan oleh penerbit? Bahkan sangat laku di pasaran. Soe Hok Gie (SHG) tidak pernah becita-cita untuk menerbitkan catatn hariannya menjadi sebuah buku. Bahkan ia tidak sempat menyaksikan catatan hariannya akan diterbitkan. Dia mati muda menjelang usia 27 tahun di gunung semeru. Mira Lesmana pun mem-filmkan buku CHSD dengan judul Gie. Pada saat itu juga sosok SHG menjadi akrab di telinga kita dan anak-anak muda serta mahasiswa angkatan 2000-an, lantaran SHG hadir dalam wajah tampan Nicholas Saputra. Padahal mereka seblumnya sangat lekat dengan budaya hedonisme yang menggerogoti mereka. Maka beruntunglah saya yang membaca SHSD semenjak masih mahasiswa baru, disaat anak-anak muda lainnya secara sembunyi-sembunyi membaca novel Fredy S. Belum menjadi mahasiswa kalau belum membaca CHSD, maka sayapun memburunya di tempat rental buku. Luar biasa, itulah kesan saya thadap CHSD. Asyi Sahid Hasan Al Banna pun demikian. Ia tidak pernah menyangka catatan hariannya akan di terbitkan dan dibukukan. Oleh murid-muridnya, catatan-catatan tersebut diberi judul Majmu'a Risalah (Risalah Pergerakan). Demiakian juga PAT, ia tidak pernah bepikir untuk menrbitkan tulisan-tuliannya. Tidak perlu risau tentang tulisan kita yang tidak ditbitkan, menulis saja, menulis apa yang kita rasakan, menulislah untuk diri kita sendiri. Demikian pernyataan PAT. Menulis memiliki arti penting bagi peadaban. Bayangkan! Apa jadinya seandainya ilmu pengetahuan tidak ditulis oleh para penemu-penemu teori.

Menulis adalah pekerjaan membaca

Sebahagian orang mensinyalir, menulis bebanding lurus dengan kegiatan membaca. Hal ini jelas menambah pebendaharaan kata bagi si pembaca. Bagaimana mungkin seorang yang ingin jadi penulis hebat tapi kurang berinteraksi dengan dunia kata (membaca). Padahal, untuk menjadi penulis diperlukan keahlian meilih dan memadu kata agar terangkai menjadi sebuah kalimat yang mudah dicerna. Jadi, menulis adalah kegiatan membaca. Bahkan dalam Al-Quran, ayat pertama yang diturunkan oleh Allah SWT adalah ayat yang memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw untuk membaca: iqra'.

AS Kambie dalam makalahnya yang disuguhkan pada diklat jurnalistik dasar VII tahun 2001 silam oleh Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) (waktu itu saya sebagai peserta), mengatakan bahwa menulis itu ibarat orang belajar naik sepeda, bila terjatuh maka coba lagi. Hati-hati dalam menulis, bila penulis terjatuh, maka pembaca akan terluka. Oleh karena itu, perbaiki tulisan anda dengan banyak membaca. Karna membaca adalah prasyarat mutlak untuk menulis.
nimal di media kampus.

Mungkin budaya literer kita tidak dimulai sejak dini. Mungkin ada baiknya anak cucu kita nantinya, sesekali mereka diajarkan untuk meminta sesuatu dengan cara menuliskannya.Agar mereka lebih akrab dengan gaya literer. Bagaimana dengan anda ?. Siapkah anda menajamkan pena untuk menorehkan sejarah dalam kehidupan kita?.

sumber://aryakelana.wordpress.com

Dalam keinginan membuat sebuah buku, semoga bermanfaat
ErwiN Arianto


1 komentar:

naim muhammad mengatakan...

Menulis bukan hanya bermanfaat bagi kita pribadi. setuju dengan kata, menulis bahkan bisa melampaui usia kita.
Maka mengajarkan anak-anak menulis di usia dini sangat bermanfaat. Bravo.

Main ke http:/gmenrekang.blogspot.com

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting