Selasa, 04 September 2007

"Abang mau beli kue?"


Selesai berlibur dari kampung, saya harus kembali ke
Jakarta. Mengingat jalan tol yang juga padat, saya
menyusuri jalan lama. Terasa mengantuk, saya singgah
sebentar di sebuah restoran. Begitu memesan makanan,
seorang anak lelaki berusia lebih kurang 12 tahun
muncul di depan.


"Abang mau beli kue?" Katanya sambil tersenyum.
Tangannya segera menyelak daun pisang yang menjadi
penutup bakul kue jajanannya. "Tidak Dik, Abang sudah
pesan makanan," jawab saya ringkas. dia berlalu.

Begitu pesanan tiba, saya langsung menikmatinya. Lebih
kurang 20 menit kemudian saya melihat anak tadi
menghampiri pelanggan lain, sepasang suami istri
sepertinya. Mereka juga menolak, dia berlalu begitu
saja.

"Abang sudah makan, tak mau beli kue saya?" tanyanya
tenang ketika menghampiri meja saya.

"Abang baru selesai makan Dik, masih kenyang nih,"
kata saya sambil menepuk-nepuk perut. Dia pergi, tapi
cuma di sekitar restoran. Sampai di situ dia
meletakkan bakulnya yang masih penuh. Setiap yang lalu
dia tanya, "Tak mau beli kue saya Bang, Pak... Kakak
atau Ibu." Molek budi
bahasanya.

Pemilik restoran itupun tak melarang dia keluar masuk
restorannya menemui pelanggan. Sambil memperhatikan,
terbersit rasa kagum dan kasihan di hati saya melihat
betapa gigihnya dia berusaha. Tidak nampak keluh kesah
atau tanda-tanda putus asa dalam dirinya, sekalipun
orang yang ditemuinya enggan membeli kuenya.

Setelah membayar harga makanan dan minuman, saya terus
pergi ke mobil. Anak itu saya lihat berada agak jauh
di deretan kedai yang sama. Saya buka pintu,
membetulkan duduk dan menutup pintu. Belum sempat saya
menghidupkan mesin, anak tadi berdiri di tepi mobil.
Dia menghadiahkan sebuah senyuman. Saya turunkan kaca
jendela. Membalas senyumannya.

"Abang sudah kenyang, tapi mungkin Abang perlukan kue
saya untuk adik- adik, Ibu atau Ayah abang," katanya
sopan sekali sambil tersenyum.

Sekali lagi dia memamerkan kue dalam bakul dengan
menyelak daun pisang penutupnya.

Saya tatap wajahnya, bersih dan bersahaja. Terpantul
perasaan kasihan di hati. Lantas saya buka dompet,
dan mengulurkan selembar uang Rp 20.000,- padanya.
"Ambil ini Dik! Abang sedekah... Tak usah Abang beli
kue itu." Saya berkata ikhlas karena perasaan kasihan
meningkat mendadak.
Anak itu menerima uang tersebut, lantas mengucapkan
terima kasih terus berjalan kembali ke kaki lima
deretan kedai. Saya gembira dapat membantunya.

Setelah mesin mobil saya hidupkan. Saya memundurkan.
Alangkah terperanjatnya saya melihat anak itu
mengulurkan Rp 20.000,- pemberian saya itu kepada
seorang pengemis yang buta kedua-dua matanya. Saya
terkejut, saya hentikan mobil, memanggil anak itu.
"Kenapa Bang, mau beli kue kah?" tanyanya.

"Kenapa Adik berikan duit Abang tadi pada pengemis
itu? Duit itu Abang berikan ke Adik!" kata saya tanpa
menjawab pertanyaannya.

"Bang, saya tak bisa ambil duit itu. Emak marah kalau
dia tahu saya mengemis. Kata emak kita mesti bekerja
mencari nafkah karena Allah. Kalau dia tahu saya bawa
duit sebanyak itu pulang, sedangkan jualan masih
banyak, Mak pasti marah. Kata Mak mengemis kerja orang
yang tak
berupaya, saya masih kuat Bang!" katanya begitu
lancar. Saya heran sekaligus kagum dengan pegangan
hidup anak itu. Tanpa banyak soal saya terus bertanya
berapa harga semua kue dalam bakul itu.

"Abang mau beli semua kah?" dia bertanya dan saya cuma
mengangguk. Lidah saya
kelu mau berkata. "Rp 25.000,- saja Bang...." Selepas
dia memasukkan satu persatu kuenya ke dalam plastik,
saya ulurkan Rp 25.000,-. Dia mengucapkan terima
kasih dan terus pergi. Saya perhatikan dia hingga
hilang dari pandangan.

Dalam perjalanan, baru saya terpikir untuk bertanya
statusnya. Anak yatim kah? Siapakah wanita berhati
mulia yang melahirkan dan mendidiknya? Terus terang
saya katakan, saya beli kuenya bukan lagi atas dasar
kasihan, tetapi rasa kagum dengan sikapnya yang dapat
menjadikan kerjanya suatu penghormatan. Sesungguhnya
saya kagum dengan sikap anak itu. Dia menyadarkan
saya, siapa kita sebenarnya.

sumber email seorang sahabat : ashfi60@yahoo.com

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting