Kamis, 13 September 2007

Kisah Dua Pedagang Permen


Kisah Dua Pedagang Permen

Kisah ini pernah cukup populer tetapi saya sendiri tidak
ingat lagi di mana untuk pertama kalinya kisah itu saya baca. Konon,
di suatu jalan di depan sekolahan terdapat dua toko permen. Keduanya
menjual j eni s-j eni s permen yang persis sama. Tetapi toko yang satu
selalu pernuh dengan anak-anak yang berebutan membeli permen. Toko
lainnya hampir tidak ada pembelinya. Para calon salesmen atau SPG
disuruh mengamati mengalami sampai terj adi gejala aneh seperti itu.

Sebagai hasil pengamatan ternyata pemilik toko yang ramai itu sangat
pintar aritmatika dalam hal tambah menambah. Sedangkan pemilik toko
yang lainnya juga sangat pintar aritmatika tetapi dalam hal kurang
mengurang.

Pemilik toko permen yang ramai itu selalu mulai m eni mbang
dalam dengan jumputan kecil. Kemudian ia terus menambahkan permennya
sehingga dacingnya seimbang. Set elah seimbangpun ia masih menambahkan
pula satu dua permen sehingga dacingnya berat ke sebelah permen
daripada ke sebelah batu timbangan.

Sebaliknya pemilik toko yang lain selalu mulai dengan sejumputan besar
permen. Kemudian ia mengurangi permen itu sedikit demi sedikit sampai
akhirnya dacingnya seimbang.

Selain daripada itu penjual permen yang murah hati itu juga murah
senyum, senang bercanda, sehingga langsung disukai anak-anak. Lawannya
seorang yang kikir senyum, bermata curiga dan bermulut kerang.

Ternyata pemilik toko yang satu memahami benar psikologi
anak kecil. Anak-anak itu gembira setiap kali menyaksikan permennya
ditambah dan ditambah. Bahkan sudah setimbangpun masih diberi
kelebihan pula. Sedangkan lawannya kurang memahami psikologi anak
kecil. Mereka melihat permen pada awalnya begitu banyak. Tetapi setiap
kali dikurangi hati mereka menj adi ciut dan semakin ciut. Walaupun
akhirnya dacingnya setimbang tetapi kesan setiap kali permennya
dikurangi itu terus membekas di hati anak-anak. Sama sekali tidak ada
kegembiraan berbelanja di sana . Sebaliknya di toko yang lain itu
selain sudah seimbang masih diberi tambahan bonus lagi beberapa butir
permen.

Bagi saya filosofi pedagang permen yang laris itu bukan
sekedar masalah memahami psikologi anak saja. Ia mengajarkan kepada
saya bahwa nilai kemurahan hati lebih baik dan sekaligus lebih
menguntungkan dibandingkan dengan nilai ke adi lan yang normatif.
Kapanpun dan di manapun orang lebih menyukai dan menghargai kemurahan
hati dibandingkan dengan ke adi lan.
Hal ini juga berlaku dalam manajemen. Perusahaan yang murah
hati dalam ' social benefits ' ternyata lebih dicintai oleh para
karyawannya. Mereka mengalami turn over karyawan yang lebih rendah
dibandingkan perusahaan yang membayar pas menurut syarat-syarat UMR.

Bahkan seandainya upah nominal resmi mungkin lebih kecil sedikit
dengan perusahaan-perusaha an lainnya mereka memilih untuk tidak pindah
kerja. Ada kelompok perusahaan besar yang memberikan tunjangan
kendaraan kepada para karyawannya selepas mereka bekerja sekian
(misalnya tiga) tahun. Entah itu berupa mobil, sepeda motor atau
sekalipun hanya sekedar sebuah sepeda bagi para karyawannya (tukang
sapu, janitor, OB dsb) tetapi ada suatu kepastian. Kepastian ini yang
sangat dihargai oleh para karyawannya. Kemudian setelah mereka bekerja
sekian (misalnya lima atau enam) tahun pasti diberikan tunjangan
perumahan. Sekalipun itu merupakan kredit KPR atau RSS atau hanya
dalam bentuk kaveling tanah 15 M2 sekalipun. Yang menarik karyawan
adalah kepastian mendapat tunjangan fisik perumahan itu sendiri.

Demikian pula tentunya dengan kepastian fisik lainnya seperti saham
kosong, kepemimpinan pada anak perusahaan, dana pensiun, dana ziarah
dsb.

Kisah sederhana dua pedagang permen itu juga memberikan
inspirasi tentang perang gerilya dalam pemasaran produk. Dalam kasus
seperti yang pernah saya alami di mana kami harus bersaing dengan
produk impor juga demikian. Kita mengalami "absolut disadvantages"
atau bahasa sederhananya situasi kalah total. Situasi mentimun lawan
durian di pasar. Sama seperti gerilyawan melawan pasukan konvensional,
j adi harus pintar-pintar mencari akal bulus dan harus menang cerdik.

Dalam hal ini analogi dengan pedagang permen t adi diibaratkan posisi
kuat pesaing itu sebagai batu timbangan. Sedangkan kemampuan
kreativitas sendiri sebagai jumputan permen. Kemenangan hanya
ditentukan oleh butir permen terakhir yang membuat sisi permen lebih
berat dibandingkan dengan sisi batu timbangan. Karena perusahaan
kecil tidak mampu memberikan service ' serba wah ' (batu besar) kepada
para pelanggan maka strateginya harus memperbanyak batu kerikil (atau
permen) sehingga piring dacingnya /njomplang.

Dalam "corporate social responsibility" kemenangan
ditentukan oleh service kecil terakhir yang diberikan kepada para
pelanggan. Entah cuma berupa perbaikan atap sekolah SD di dekat
pabrik, memperbaiki jembatan, mengaspal jalan, menambah lampu jalan,
mensupply air bersih gratis kepada surau terdekat, dsb.

Intinya sebenarnya sederhana saja. Berikan kepada konsumen
service berupa apa yang mereka dambakan dan bukannya apapun yang kita
ingin berikan kepada mereka. Dalam pergaulan sosial juga demikian.

Madu yang kita tawarkan bila tidak diinginkan akan dianggap tidak
berbeda dengan racun. Sebaliknya bila yang diinginkan hanya sekedar tempe bacem dan sayur asem, maka steak yang kita tawarkan dengan
gratis juga akan kurang diapresiasi.

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting