Senin, 03 September 2007

Kewajiban dalam Penyelenggaraan Jenazah


Kewajiban dalam Penyelenggaraan Jenazah

Kewajiban orang yang hidup kepada orang yang meninggal ada dua hal, yaitu kewajiban terhadap jenazahnya dan kewajiban terhadap harta peninggalannya.

Adapun kewajiban terhadap jenazahnya ada empat macam, yaitu 1). memandikannya, 2). mengkafaninya, 3). menshalatinya, 4). menguburkannya.

Sedangkan harta peninggalan jenazah itu diprioritaskan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan jenazah, yaitu:
1- Biaya mengurus jenazahnya.
2- Membayar hutangnya, baik hutang kepada sesama manusia atau kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti nadzar, kifarat, kewajiban hají yang belum dilaksanakan dan sebagainya. Bila jenazah itu tidak memilki tinggalan harta untuk membayar hutangnya, maka menjadi tanggungan ahli warisnya dan bila ahli waris juga tidak ada, maka menjadi tanggungan orang Islam yang mampu yang ada di sekitarnya.

Hutang ini penting untuk diperhatikan, sehingga sebelum menshalatkan jenazah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam terlebih dahulu selalu bertanya, apakah jenazah tersebut masih memiliki hutang. Jika jenazah tersebut memiliki hutang, beliau tidak menshalatinya, hanya menyuruh sahabat-sahabatnya saja yang menshalatkannya. Jika hutang itu ada sahabat yang menanggung, baru beliau mau menshalatinya.

Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Allah akan mengampunkan semua dosa orang mati syahid kecuali hutang.”
(Hadits Riwayat Abu Dawud)


3- Membayar wasiat, asal tidak lebih dari sepertiganya.
4- Pembagian waris, setelah semua kewajiban di atas dipenuhi, maka harta itu dibagi kepada ahli warisnya sesuai dengan ketentuan syariat Islam.

Dalam kenyataannya, praktek pembagian waris menurut syariat Islam tidak banyak dilaksanakan oleh Umat Islam. Dan orang yang mempelajari ilmu inipun sangatlah sedikit.

Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam 14 abad yang lalu sudah mensinyalir keadaan yang demikian, sehingga beliau sangat menekankan kaum muslimin untuk mempelajari Faraidh atau Ilmu Mawaris, karena ilmu ini lama-lama akan lenyap, yakni orang-orang menjadi malas untuk melaksanakan pembagian pusaka menurut semestinya, yang diatur oleh hukum Islam.

Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Pelajarilah Faraidh (pembagian harta warisan) itu dan ajarkanlah kepada orang lain.
Sesungguhnya aku adalah seorang manusia yang bakal dicabut nyawa.
Dan sesungguhnya ilmu itupun akan ikut tercabut pula.
Juga akan lahir fitnah-fitnah sehingga terjadilah perselisihan antara dua orang karena hal warisan. Kemudian mereka berdua itu tidak mendapatkan orang yang akan memberi keputusan (terhadap masalah yang diperselisihkan itu) di antara mereka berdua.”
(Hadits Riwayat Al-Hakim).


Peringatan Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam ini benar-benar menjadi kenyataan sekarang. Banyak ‘alim (ulama) yang mengerti berbagai ilmu, tapi sedikit sekali yang menguasai Ilmu Faraidh. Oleh karena itu, Faraidh memiliki kedudukan yang tinggi dan penting untuk dipelajari, seperti diperintahkan Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam :

“Pelajarilah Faraidh dan ajarkanlah ia karena ia (Faraidh) seperdua ilmu
dan ia akan dilupakan dan dialah yang pertama akan dicabut dari umatku.”
(Hadits Riwayat Ibnu Majah dan Dara Qutni)


Petunjuk Al-Qur’an tentang pembagian waris itu diterangkan dalam ayat-ayat mawaris, antara lain : Surah Annisa ayat 7-14 dan ayat 176.

Ada beberapa riwayat yang menceritakan sebab-sebab turunnya ayat waris, di antaranya riwayat yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim, yaitu bahwa seorang perempuan (isteri Sa’ad bin Rabi’) datang menghadap Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam dengan membawa dua orang anak perempuan puteri Sa’ad.

Perempuan itu berkata: “Wahai Rasulullah ! Dua orang anak ini adalah puteri Sa’ad bin Rabi’, ayah mereka gugur sebagai syuhada dalam pertempuran Uhud. Paman mereka telah mengambil semua harta peninggalannya, sehingga mereka berdua tidak kebagian apa-apa, padahal mereka tidak dapat menikah tanpa harta.”

Maka Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam menjawab : “Allah akan memutuskan kasus tersebut.” Kemudian turunlah ayat waris Surah An-Nisa’ ayat 11-12.

Setelah itu lalu Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam mengirimkan utusan untuk memberitahukan kepada paman kedua puteri Sa’ad. Hendaklah kedua puteri Sa’ad itu diberi bagian dua sepertiga, ibunya diberi seperdelapan dan sisanya untuk pamannya.

Adapun pada ayat 176 Surah An-Nisa’ menjelaskan tentang masalah “Kalalah”, yaitu seorang yang meninggal dunia dan tidak punya anak, tetapi ada saudaranya. -.-

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting