ArFILOSOFI MENABUNG
Teman-teman rekan milis saya cintai, saya sering berdiskus dengan, teman dan kerabat mengenai masalah kesulitan keuangan mereka, dan kurangnya pendapatan mereka dalam memenuhi kehidupan sehari-hari, maka dalam kesempatan ini saya coba sedikit memberi paparan dalam tulisan saya ini mengenai Filosofi menabung.
Di Indonesia ada ungkapan “jangan lebih besar pasak daripada tiang”. Itu berarti nenek moyang bangsa Indonesia telah memiliki bekal tentang ilmu ekonomi untuk diteruskan ke generasi penerusnya. Tetapi mengapa sebagian besar dari kita masih rentan dalam kemandirian ekonomi? Dalam kesempatan ini akan diuraikan d tentang kelemahan kita dalam kultur ekonomi, utamanya budaya menabung, dalam artikel “Pengantar Filosofi Menabung”.
Menarik untuk dikaji, bahwa Indonesia belum berhasil mengadopsi kapitalisme yang konsepnya diadopsi dari Barat. Di Indonesia banyak sekali wirausahawan, semangat kerja para pekerja juga bagus, tetapi mengapa tetap belum bisa masuk ke garis depan negara maju? Jawaban yang akademis adalah bahwa kita belum bisa efektif menciptakan kapital. Di sini kapital berarti sesuatu yang bisa mendorong meningkatnya produktivitas kerja (labor productivity) dan kemakmuran bersama (common wealth) yang diperoleh dari produktivitas tersebut. Kapital bisa merupakan uang atau aset, bisa intellectual capital, bisa teknologi dan sebagainya yang bisa diorganisasi untuk menciptakan produktivitas yang hasilnya diterima oleh pasar.
Kalau kita lihat di jalan-jalan, banyak mobil BMW, Mercy berseliweran, tapi apakah itu wujud dari pembentukan kapital? Jawabannya sebagian besar tidak! Banyak perusahaan Indonesia yang menjadi besar karena hubungan kedekatan dengan suatu subyek: dekat dengan bos suatu perusahaan, dekat dengan menteri dst. Dari situ yang diperoleh adalah akumulasi aset, tetapi bukan kapital dalam arti yang sesungguhnya. Itu karena akumulasi tersebut bersifat subyektif atau tergantung subyek orang tertentu, dan tidak self-sustained (menopang diri sendiri).
Salah satu sebab mengapa kapital tak berhasil dibentuk dengan efektif di Indonesia adalah kurangnya filosofi tentang keuangan, terutama mengenai pentingnya menabung. Secara historis kultural, harus diakui di negara-negara tropis di mana tanaman bisa berbuah sepanjang tahun, budaya menabung kurang kondusif. Sebaliknya di negara sub tropis, di mana ada perubahan musim sepanjang tahun, menabung menjadi keharusan. Itu karena sejak jaman pra modern sudah terbentuk kebiasaan menabung, dikarenakan pada musim gugur dan dingin tidak bisa dilakukan kegiatan kerja yang produktif.
Menabung merupakan elemen penting untuk pembentukan kapital, yang telah mendorong negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang dan Eropa menjadi begitu maju seperti sekarang ini. Tapi di negara kita, kebanyakan orang membeli barang lebih suka dengan kredit dan bayar di belakang. Ini berbeda dengan kultur menabung yang mana uang dikumpulkan di depan dulu untuk membeli barang. Kedua hal sekilas sama, tapi memiliki perbedaan yang besar. Pengumpulan uang di depan kemudian dibelanjakan memungkinkan keputusan diambil secara rasional karena ada sense of reality, orang bisa merasakan susah payahnya mengumpulkan uang. Selain itu menghemat cost of money yaitu bunga kredit. Kalau kita membayar bunga kredit, yang paling untung adalah pihak yang memiliki kapital lebih dulu yaitu lembaga-lembaga keuangan. Kemudian kalau dilihat secara aggregate / kumulatif, uang yang ditabung dan terkumpul di bank bisa dialokasikan untuk sektor produktif yang bisa memajukan perekonomian negara.
Tapi meskipun tahu demikian, mengapa menabung tetap sulit? Jawabannya seperti diuraikan di atas, karena faktor historis kultural. Lalu bagaimana bisa melepaskan diri dari kebiasaan tidak menabung tersebut.
“psikologi” dasar manusia yang menyangkut uang.
“psikologi” dasar manusia yang menyangkut uang. Ini sangat penting diketahui agar kita mengetahui cara-cara yang cocok untuk diri kita dalam rangka bisa menabung.
Beberapa Psikologi Dasar Manusia Terhadap Uang:
PARADOX 1: Semakin uang terkumpul, justru kita semakin hati-hati menggunakan uang dan cenderung ingin menambah tabungan yang terkumpul. [Itu karena uang yang terkumpul memberi rasa PD pada diri kita, sehingga kita ingin semakin menabung]
PARADOX 2: Semakin punya uang, kita menjadi tidak gengsi untuk tidak boros atau tidak cari sensasi. [Ini sesuai dengan “psikologi komplementer”, yaitu secara tidak sadar kita akan berusaha menutupi kelemahan pada diri kita. Kalau kita tak punya uang, untuk menutupinya justru kita akan memperlihatkan royal atau ngejreng ke orang lain]
TEKNIK 1: Mengganti pengeluaran uang dengan pujian. [Meskipun uang itu sangat berharga, tapi kebutuhan manusia tak hanya uang tapi juga aktualisasi diri. Dengan memberi pujian kepada orang (istri, pacar dsb), kita bisa mengurangi pengeluaran uang untuk orang tersebut, dengan kepuasan yang sama bagi orang tersebut]
TEKNIK 2: Buat target yang tidak sulit dulu. Setelah berhasil, otomatis target akan bertambah besar dengan sendirinya. [Ini kunci umum dalam meraih keberhasilan. Target yang terlalu besar membuat kita malas untuk mencapainya. Mulailah dari yang tidak sulit, misalnya target dalam 3 bulan uang telah terkumpul sekian sekian]
PEPATAH 1: Dalam pepatah Jepang, dikatakan “barang siapa menertawakan uang 1 yen, suatu saat akan menangis karena uang 1 yen.” [Ini bukan mengajarkan pelit, tetapi untuk membentuk sikap mental menghargai uang. Apabila kita care terhadap uang yang kita keluarkan, maka secara otomatis pemborosan akan berkurang dengan sendirinya. Kalau bisa, 5 menit pada malam hari kita analisa seakurat mungkin di atas kertas ke mana saja uang kita gunakan pada hari ini]
PARADOX 3: Kita akan mudah dirayu untuk membeli sesuatu, tetapi kita akan marah kalau dikomentari tentang sesuatu yang kita beli. [Oleh karena itu, pada saat dirayu membeli sesuatu jangan mudah tergoda. Pikirkan apakah barang tersebut ada manfaat secara riil dan berkelanjutan]
PARADOX 4: Meminjam uang 100 ribu sebelum gajian dan meminjam uang 100 ribu setelah gajian, nilainya sangat berbeda. [Butuh uang 100 ribu dua hari menjelang gajian membuat kita tidak PD, dan merasa berhutang budi banyak terhadap orang yang meminjami kita. Bahkan kalau kita diminta mengembalikan 150 ribu, kita akan mau. Moral yang diambil dari situ: aturlah uang jangan sampai kurang. Kekurangan uang membuat mental kita menjadi tidak stabil dan justru cenderung tambah boros]
PEPATAH 2: Kalau ada cerita yang manis atau lezat, biasanya A3 atau “Ada Apa-Apanya’ [Kadang ada ajakan “bisnis” tertentu yang hasilnya luar biasa, atau tibatiba ada sms masuk mengabarkan dapat hadiah mengejutkan. Pada saat itu, kita harus berpikir dulu bahwa di dunia ini tak ada rejeki yang turun gratis dari langit. Jangan mudah tergoda kalau tidak ingin kehilangan uang sia-sia]
PEPATAH 3: “Yang utang saja sabar, kok yang mengutangi tidak sabar?” [Berhatihatilah meminjamkan uang yang agak besar kepada orang lain. Kalau uang tersebut tidak kembali, 50% dari kesalahan ada pada diri kita karena kita percaya uang bakal kembali. Sebelum meminjamkan uang, analisa kredibilitasnya dari pengalaman berhubungan uang dengannya selama 1 tahun terakhir]
Memahami “psikologi” dasar manusia yang menyangkut uang penting karena menurut teori strategi Sun Tzu, untuk bisa mengatasi suatu masalah, sebelumnya kita harus mampu memahami kelebihan dan kelemahan diri sendiri serta pihak lain.
Mungkin ada yang bertanya, apakah kita harus pelit agar bisa menabung dan mengumpulkan aset, jawabannya tidak juga. Menampung rejeki seperti halnya memegang air pada telapak tangan, terlalu digenggam air akan tumpah, terlalu dibuka juga akan tumpah. Jadi ada level optimal tertentu dalam mengelola keuangan, tidak terlalu royal dan tidak terlalu pelit.
Kita tidak perlu terlalu pelit sehingga mengabaikan pengeluaran yang mungkin timbul dalam jangka panjang. Ada pepatah Jepang yang mengatakan bahwa membeli barang murahan itu hanya membuang uang saja. Itu artinya barang yang “murahan” biasanya umurnya tidak panjang dan akhirnya kita harus membeli barang yang sama.
Selain itu ada ajaran yang mengharuskan kita berhati-hati dalam menerima pemberian gratis dari orang. Sebab tidak ada yang lebih mahal daripada pemberian gratis! Pemberian sesuatu yang bersifat gratis menimbulkan hutang budi yang apabila kita tak bisa mengembalikan budi tersebut bisa meretakkan hubungan. Pemberiangratis oleh orang lain bisa juga menimbulkan penguasaan secara psikologis terhadap diri kita, sehingga suatu saat apabila kita dimintai suatu pertolongan meskipun sulit, kita pasti sulit untuk bisa menolaknya. Apabila diberi barang gratis, lebih baik kita membayarnya meskipun hanya ala kadarnya.
Akhir-akhir ini, kartu kredit menjadi suatu mode. Kartu kredit memberi kemudahan dalam belanja, tapi mengingat budaya kartu kredit itu baru bagi masyarakat Indonesia, banyak dari kita yang belum tahu mengenai perhitungan bunga dan efeknya terhadap cashflow rumah tangga. Dengan bunga 3% per bulan dan bersifat akumulatif (bunga berbunga), selayaknya kartu kredit hanya digunakan untuk halhal yang bersifat rutin (belanja bulanan) serta darurat (rumah sakit dsb) saja.
Di berbagai kolom Surat Pembaca di berbagai media massa, sering saya membaca artikel orang mengeluh bagaimana mengatasi cicilan yang terlalu banyak yang melilit rumah tangganya. Individu maupun perusahaan memiliki karakteristik yang sama, apabila pengeluaran cicilan terlalu banyak maka operasional kehidupan/bisnis akan terganggu. Alangkah baiknya apabila kita selalu bisa mengontrol agar total cicilan bulanan tidak lebih dari 25% penghasilan kita.
Konsep Cashflow dan Manajemen Aset
Banyak menjadi polemik di dunia akademis, bahwa salah satu kelemahan kurikulum pendidikan di Indonesia adalah tidak adanya pengajaran tentang ilmu ekonomi praktis, terutama mengenai pengaturan cashflow. Cashflow adalah keluar masuknya uang sepanjang waktu. Kelemahan dalam pengaturan cashflow menyebabkan uang menjadi krodit / habis di suatu waktu tertentu, sehingga orang terpaksa harus cari utangan. Padahal dengan pengetahuan pengaturan cashflow yang sederhana, titiktitik rawan bisa diprediksi sehingga kekurangan uang bisa diprediksi dan dihindari.
Manajemen Aset adalah masalah lain, menyangkut bagaimana mengoptimalkan aset. Agar aset nilainya menjadi optimal, orang biasanya membeli barang yang kalau dijual lagi (re-sell) harganya bagus. Pengetahuan seperti ini penting juga dalam rangka menabung dalam arti yang lebih luas, yaitu menabung aset.•
“ Nafsu atau keinginan yang dimiliki manusia adalah anugrah bila kita bias mengendalikan, tetapi akan menyadi musibah jika tidak bisa terkendali “
Dalam perenunganku
Cikarang, 19July 2007, 08:44
Erwin Arianto
More about My Article & Poetry See http://erwinarianto.blogspot.com/
0 komentar:
Posting Komentar